Jumat, 07 Oktober 2011

Pancasila Menuju Pluralisme Sosial

Tanggal 1 juni, adalah hari yang sangat bermakna dan bersejarah bagi Indonsia. Ialah hari (kelahiran) Pancasila. Tak pelak, Sejumlah institusi kenegaraan maupun lembaga-lembaga non-Government ramai mengadakan seremonial dalam rangka memperingati hari pancasila ini. Sebuah ideologi bangsa yang lahir dari proses perdebatan yang cukup panjang, lahir saat-saat bangsa ini belum menemukan titik pijaknya dalam melangkah mengisi kemerdekaan yang baru didapatkannya. Tentu saja, tidak mudah merumuskan sebuah pemahaman bersama di antara sejumlah perbedaan yang mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia baik budaya, etnis, suku, agama, dan lain-lain menuju satu konsensus bersama. Namun suatu bangsa akan kehilangan bahkan tidak akan berkembang bila ia tak memiliki landasan ideologi bagi penguatan karakter kebangsaannya. Bangunan Ideologi tersebut haruslah mampu mempertemukan titik persamaan dari sekian perbedaan dan memantapkan serta menghargai keberadaan dari pluralitas yang ada. Lahirnya pancasila menjawab kegelisahan hati warga Negara ini yang pada gilirannya adalah sebagai sumber inspirasi untuk seluruh kerangka pemikiran kebangsaan dalam menjalankan fungsi kenegaraannya.

Dalam masyarakat multikultur, perbedaan sikap, karakter, dan cara pandang menjadi unsur utama bangunan tata sistem sosial terutama pada level kebudayaan yang menjadi ekspresi nilai masyarakat setempat. Hal tersebut bisa diterjemahkan melalui diskripsi symbol-simbol kebudayaan sebagai bentuk komunikasi sosial yang berkembang sealur dengan proses eksperimentasi sosiologis dalam memahami dialektika perubahan zaman. Pada sisi yang lain, formulasi kultur juga akan senantiasa mengalami reproduksi sekaligus reformulasi guna menegaskan eksistensi personal maupun kelompok masyarakat sebagai wujud kontekstualisasinya dengan keberadaan entitas kebudayaan yang berbeda. Namun, tesis perubahan masyarakat tidak selalu linier dengan kehendak pelaku tindakan sosial dalam upaya melakukan suatu perubahan sesuai proyeksi yang dirumuskan, karena urgensi pertumbuhan pada hakikatnya tidak terletak pada bentuk artifisial suatu symbol kebudayaan namun lebih pada pandangan nilai atau sistem nilai yang dikembangkan. Dengan demikian, tidak hanya terkait soal perubahan, namun arah dari perubahan yang diinginkan bersama karena telah bersepakat dalam sebuah tekad hidup bersama.

Terdapat paling tidak dua mainstream pemikiran yang yang berkembang pada proses perumusan Pancasila ini, Nasionalis-Kebangsaan dan Keagamaan (yang lebih menginkan Negara berbasis agama Islam). Dua kerangka ideologis inilah yang amat panas mewarnai konstelasi perdebatan menuju suatu rumusan kesepakatan. Tampak seakan paradigma keagamaan terpisah dan berposisi vis a vis dengan paradigma nasionalis, sementara tentu hal ini merupakan sebuah kekaburan dimensi pemahaman yang tidak komprehensif. Namun para pendahulu Bangsa ini benar-benar tepat memaknai Islam dalam kesatuan dan akomodatifnya pada ide-ide kenegaraan-kebangsaan modern. Karena saat tersebut juga merupakan awal-awal persentuhan secara vulgar tradisi Timur (tradisi agama) dan tradisi Barat dalam suatu dialog peradaban sehingga memunculkan ide-ide modernisasi.

Pada prinsip dasarnya, seluruh ayat dalam pancasila bertitik tolak pada dua pola hubungan yang utuh, Ketuhanan dan kemanusiaan (Hablun minallah dan hablun minas). Prinsip Ketuhanan mengandaikan terjalinnya keyakinan—tidak hanya individu tapi seluruh warga atas nama Negara—terhadap kehadhirat Tuhan bagi seluruh manusia. Keyakinan ini sebenarnya tidaklah mengacu pada konsep teologis agama tertentu, namun merupakan simbol dan subtansi dari keberadaan nilai-nilai agama di negeri ini sehingga ia menjadi Commonsence (kalimatun sawa’), yaitu pandangan dan sikap bersama sebagai warga negara. Berangkat dari pemahaman ini, tidak ada celah bagi Negara ini untuk “diswatanisasi” oleh ideologi maupun paham keagamaan tertentu. Walaupun faktanya, telah cukup lama bermunculan di negeri ini, sebuah usaha-usaha yang dimotori oleh organisasi-organisasi keagaman tertentu dengan misi mengubah dasar Negara ini menjadi Negara Agama. Yang perlu dipahami secara mendasar adalah bahwa kepercayaan keagamaan telah menetap di tanah air sebelum bersatunya nusantara ini menjadi Negara-bangsa (Nation-state). Sementara tidak hanya satu kepercayaan keagamaan yang ada, namun amat beragam dengan aliran dan sekte yang juga sulit terhitung. Sementara yang juga turut memperjuangkan kemerdekaan Negara ini tidak satu golongan saja, akan tetapi semua komponen dengan satu perasaan, satu nasib, satu energy, dan satu tekad kemerdekaan. Lantas, pantaskah bila Negara ini kemudian diklaim milik atau bahkan berdasarkan agama tertentu?

Pada sila-sila berikutnya, terkandung nilai-nilai keadaban, kemanusiaan, keadilan, persatuan, keharusan bermusyawarah, dan pada gilirannya akan melahirkan tatanan kemasyarakatan yang adil dan kokoh. Arti dari semua ini, bahwa ideology bangsa ini menarik garis-garis universalitas nilai-nilai utama kehidupan manusia terlebih dalam konteks aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga justru tidak melawan dan mengambat esensi dari semangat kemajuan.

Pancasila dan semangat Keummatan
Istilah keummatan setidaknya merujuk pada bagian struktur masyarakat berdimensi kepercayaan. Sebuah komunitas masyarakat dengan relasi sosial tertentu yakni pola interaksi hubungan kepercayaan. Sementara dimensi ini telah menjadi ciri khas, juga menjadi bagian penting penopang system nilai yang berkembang dalam lingkup relasi sosial kemasyarakatan terlebih pada segmentasinya yang lebih luas. Tentunya banyak segi yang menjadi corak sosiologis kemasyarakatan yang mengarah pada bentukan sosial keummatan. Pada tataran praksisnya memang tidak lepas dari faktor sosio-keagamaan sebagai variabel penting terhadap bangunan pemahaman cara berpikir masyarakat secara umum. Sehingga dapat dipahami frame maupun kerangka nilai dalam ranah sosial keummatan berpijak pada posisi yang tidak terpisahkan dari sosial kemasyarakatan.

Robert M. Mclver mendefinisikan masyarakat sebagai suatu sistem hubungan-hubungan yang ditata (Society means a system of ordered relations). Sebagai suatu kelompok manusia tentu tidak lepas dari kepentingan maupun keinginan yang hendak dicapai oleh masing-masing individu. Dalam pada itu tatanan sosial menjadi sebuah keniscayaan guna harmonisasi sosial kemasyarakatan. Terdapat dua karakter masyarakat sebagai kelompok sosial yang berhubungan satu sama lain, kehendak untuk bekerja sama dan kehendak untuk bersaing. Dualisme ini sesungguhnya menjadi sistem relasi yang dinamis manakala berpijak pada tatanan yang baik dalam arti terbukanya ruang publik yang bisa diakses semua komponen masyarakat. Pada saat yang sama, sistem nilai seperti keadilan, kejujuran, keterbukaan dan nilai-nilai yang lain sebagai fungsi perekat antar kelompok masyarakat perlu menjadi landasan etik bersama dengan tanggung jawab bersama.

Lemahnya pemahaman terhadap pancasila pada saatnya melahirkan problem keummatan, yang juga sering muncul lantaran tersendatnya proses demokratisasi pada tataran kelompok masyarakat yang menekankan pada dominasi kepercayaan tertentu serta fakta pluralitas yang sulit diterima. Nampak dengan terang bahwa pangkal disintegrasi keummatan lahir dari sikap fanatistik dengan paradigma sektarian yang menggejala dan bahkan berpengaruh dalam lingkup internal dari sebuah institusi kepercayaan tertentu. Pengabaian terhadap amanah pancasila, semakin lama semakin subur, tentu saja, bila asas keterbukaan dan cara pikir plural lemah maka mudah berdampak pada suburnya radikalisasi berbasis keyakinan keagamaan. Fenomena ini sebenarnya juga tidak lepas dari kondisi-kondisi di luar faktor-faktor di atas tetapi juga berkaitan dengan dimensi sosial kemasyarakatan yang lebih luas, semisal tensi perekonomian, hukum, politik yang memperlihatkan ketimpangan di banyak sektor. Sehingga perluasan subtansi masalah secara komprehensif terletak pada lingkaran atau siklus tatanan sosial yang melingkarinya. Dalam hal ini, seluruh komponen masyarakat dalam pendekatan keummatan pada sejumlah dimensi keberadaannya memiliki fungsi dan peran bersama.

Untuk mengurai secara kompleks segenap persoalan di atas bisa berpijak pada usaha reunifikasi secara kolektif di atas heterogenitas corak kemasyarakatan menuju struktur keummatan yang terpadu. Tatanan fundamental dari bangunan struktur tersebut tentu harus terbingkai dalam pola komunikatif-konstruktif dengan landasan nilai, norma, dan etika yang akomodatif terhadap sistem budaya setempat. Sehingga proses kulturalisasi tata nilai kepercayaan menjadi semakin dinamis dan membuka ruang lebih luas terhadap perkembangan dan pembangunan masyarakat baik sektor infrastruktur maupun suprastruktur.

Damai bersama Pancasila
Kita memang telah didera penyakit mental yang akut. Bangsa yang besar ini tentu tidak semestinya melahirkan anak bangsa yang justru terasing dari jiwanya sendiri. Kemajuan tidak selalu harus berkiblat dan membebek pada kemegahan di luarnya, namun kemajuan adalah semangat membaca, memahami, dan mengambil saripati dari dalam. Tidakkah kita semua sadar betapa kekayaan demi kekayaan alam Negara kita semakin hari semakin keropos. Sementara kita lupa, bahwa leluhur-leluhur bangsa ini adalah para macan-macan yang amat setia melindungi hutannya, kawanannya, namun ia keras bila ada yang coba mengancam dan merusak stabilitas persatuan yang telah lama dibangun. Pancasila merupakan sumber keberanian bangsa ini, ialah juga yang akan menghantarkan bangsa ini menuju kedamaian yang tidak hanya untuk diri bangsanya, tapi untuk seluruh bangsa di dunia.

HMI Syariah Ekonomi UIN Malang

About HMI Syariah Ekonomi UIN Malang

Himpunan Mahasiswa Islam adalah organisasi mahasiswa yang telah berdiri sejak 1947. Semangat perkaderan di HMI itulah yang membuat HMI terus eksis hingga sekarang. Dan komisariat adalah basis perkaderan HMI dari akar rumput untuk mewujudkan para insancita sesuai dengan mission yang diemban HMI.

Ketik E-mail untuk berlangganan kiriman HMI Syaeko :