Sejak mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum,
maka rasa kemanusiaannya dirampas dan direnggutkan.
Mereka lebih dicecoki untuk menjadi professional,
tetapi mengabaikan dimensi kemanusiaan
Apa yang dikatakan oleh Gery Spence yang sempat dikutip oleh Satcipto Rahardjo tersebut patut kita renungkan sebagai bahan refleksi pendidikan hukum. Problem bangsa begitu pelik dan kondisi hukum sudah sedemikian parah. Tugas mulia yang diamanatkan oleh UUD 1945 seakan ‘dikhianati’ oleh pemerintahnya sendiri. Kekacauan dan konflik kini menjadi ‘proyek menjanjikan’ bagi oknum intelejen dan penguasa. Pembunuh pun ‘dilindungi’ dengan alasan stabilitas negara. Korupsi yang notabene adalah tindakan kriminal, kini menjadi komoditas para ‘penjual isu’. Hak Pendidikan, pekerjaan dan penghidupan yang layak kepada setiap warganya, kini hanya menjadi sekedar retorika calon penguasa. Tidak berlebihan, jika ada yang mengatakan bahwa reformasi hanyalah ‘aransemen baru’ dari orde baru (Yasraf Amir Pilliang:2000). Di saat yang sama, hukum cenderung hanya menjadi legitimasi terhadap kejahatan struktural (structural crime) penguasa**. Tampaknya, fenomena buruk tersebut tak pernah ada habisnya. Faktornya pun beranak pinak.
Padahal, Lulusan sarjana hukum sekarang sudah menjamur dimana-mana. Tapi, kenapa law enforcement bukannya semakin baik? De Facto, kondisi itu terbukti dengan praktik jual-beli putusan di Pengadilan; hakim serakah suap; dan mafia hukum dengan modus yang semakin ‘kreatif’. De Jure, kondisi itu diperparah dengan banyaknya peraturan yang malah ‘mendurhakai’ masyarakatnya sendiri. Lalu, bagaimana dengan sistem pendidikan hukum? Benarkah apa yang dikatakan oleh Gery Spence diatas?
REHUMANISASI EDUKASI HUKUM
Suatu ketika, penulis menulis status di akun facebooknya. Kurang-lebih, kalimatnya seperti ini: “kita terlalu enak mempelajari UU ini-UU itu, sampai-sampai tidak sadar bahwa ternyata UU yang kita pelajari tersebut ternyata ‘pesanan asing’.” Statemen tersebut diilhami dari ironisnya beberapa UU yang konon pembentukannya dibiayai oleh asing yang menyebabkan kedaulatan ekonomi dan politik kita makin terjajah. Sebenarnya, saya mengaharapkan setiap komentar yang datang akan melengkapi, atau paling tidak, akan menjustifikasi statemen tersebut. Tetapi, seorang dosen saya berkomentar, “sudahlah,ketahui isi hukumnya. Yang penting belajar dulu”. Saya benar-benar kecewa ketika itu. Namun, kekecewaan tersebut akhirnya terobati setelah beberapa bulan kemudian penulis membaca artikel Satcipto Rahardjo yang mengktritik pedas cara kebanyakan fakultas hukum yang hanya mengajarkan tentang teks-teks hukum formal dan bagaimana cara mengoperasikannya (Satcipto Rahardjo: 2010).
Contoh kecil dari satatus facebook diatas tentu merupakan sebuah ironi. Bagaimana tidak, di saat sistem pendidikan di negeri ini yang mendukung liberalisme-individualisme, para pendidik justru memilih bekerja secara biasa-biasa saja. Tidak ada tindakan luar biasa yang dilakukan dengan mengubah kerangka berfikir mahasiswa secara manusiawi. Mahasiswa di fakultas hukum hanya dicecoki untuk menempuh karir sebagai hakim, pengacara, jaksa dan semacamnya. Sementara bagaimana caranya untuk membantu kaum tertindas yang secara faktual susah untuk mendapatkan hak hukumnya, motivasi itu tidak pernah ada. Padahal, cleaning structural crime seharusnya menjadi prioritas.
Dimana mahasiswa hukum ketika kios para pedagang pasar dihancurkan sementara tempat mereka disulap menjadi apartemen dan mall yang notabene milik pengusaha-pengusaha kaya? Dimana lulusan fakultas hukum ketika rakyat disekitar perusahaan tambang tetap dimiskinkan dan tersiksa oleh kejamnya limbah dan polusi?. Dimana para dosen di fakultas hukum, ketika Pedagang Kaki Lima diperkotaan diusir tanpa adanya penyediaan lapangan pekerjaan yang layak bagi masyarakat? Dimana para pengacara ketika anak jalanan yang berusaha menyambung hidup malah di bui-kan sementara para penguasa tak pernah menyediakan tempat tinggal dan pendidikan yang layak bagi mereka? Bukankah UUD 1945 Pasal 34 (1) mengatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara? Dimana mahasiswa hukum ketika banyak sekolah dasar tidak berdaya karena tak kunjung mendapatkan suntikan dana dari pemerintah? Bukankah, UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31 ayat 2)? Dimana aktivis-aktivis hukum semacam Munir Said Thalib? Menghapus munculnya pertanyaan itu sudah selayaknya menjadi prioritas bagi fakultas-fakultas hukum.
BUAH ‘INTERTEKTUALITAS’?
Penulis sengaja mengaitkan ‘kegagalan pendidikan hukum’ di negeri ini dengan teori hegemoni yang dicetuskan oleh Antonio Gramschi. Ia mengatakan, bahwa hegemoni akan terjadi ketika ideologi dari kelompok yang mendominasi berhasil mendominasi terhadap ideologi kelompok yang didominasi. (Roger Simon: 2000). Penulis juga mengaitkan teori ini terhadap kelompok Negara-negara barat (Eropa-Amerika) dan kelompok Negara-negara timur (Asia). Ketika membicarakan Barat dan Timur, Edward W. Said dalam karya monumentalnya, Orientalisme menyebut, bahwa ada hegemoni politik, hegemoni intelektual, hegemoni kultur, dan hegemoni moral, dari Barat yang berkuasa dan mendominasi Timur. Tidaklah sulit untuk mengidentifikasi itu semua, kata Said.
Lalu, apa hubungannya dengan pendidikan hukum? Pertama; Penulis menilai, ranah pendidikan hukum kita adalah bagian dari hegemoni intelektual yang dicetuskan Gramshi dan Said. Potret kecil, diberlakukannya azas korkordansi (peraturan di Negara penjajah diberlakukan terhadap Negara yang dijajah). Asas tersebut secara otomatis membuat sistem hukum di negeri penjajah dan negeri yang di jajah akan disamakan. Walaupun, sebenarnya sistem hukum dan peraturan itu ternyata tidak relevan dengan tradisi, budaya, dan keanekaragaman sosial di negeri ini. Tidak hanya itu, Belanda sebagai penjajah dari Eropa merupakan sintesa dari Barat dengan antropologi masyarakat yang modernis-individualis. Tipologi masyarakat Barat tersebut tentu berbeda dengan masyarakat kita, yang dominan tradisionalis-kolektiv atau komunitarianis. Dengan demikian, dalam pemberlakuan asas konkordansi tersebut, terdapat unsur perbedaan ideologis, tradisi, budaya dan tipologi masyarakatnya. Kedua; Ketika anda diajarkan UU Penanaman Modal, misalkan, anda tidak akan diajari untuk mencari titik lemah UU yang sudah terbukti pro-asing dan kapitalisme itu. Bagaimana tidak? Wong pembentukannya saja dibiayai asing. Bagaimana tidak? wong dalam UU itu saja jelas-jelas disebutkan bahwa pemberlakuannya dilakukan demi liberalisasi ekonomi. tetapi anda hanya akan diajarkan mencari kasus yang bertentangan dengannya. Dalam bahasa Sacipto Rahardjo, anda hanya akan diajarkan cara mengoperasikannya.
Jika ditelisik lebih lanjut, hal ini ternyata mengakar terhadap sistem pengajaran dan pendidikan hukumnya. “Yang penting, bagaimana caranya anda nanti menjadi hakim, advokad, jaksa, praktisi hukum di perusahaan, dan karir semacamnya”. Motivasi-motivai seperti itu pasti akan ditemui di ruang-ruang fakultas hukum. Pantasnya, motivasi itu layak ditemui di fakultas-fakultas hukum di Eropa yang masyarakatnya individualis. Tapi, kenapa hal itu ada di negeri yang masyakatnya terkenal komunitarian ini? Dengan demikian, itu namanya westernisasi motivasi. Kesuksesan hanya diukur oleh kesksesan individu, bukan kesejahteraan masyarajat secara luas. “Jadilah pembela kaum lemah seperti munir; bantulah anak jalanan dan kaum miskin kota yang dirampas haknya” kenapa tidak motivasi seperti itu saja yang diberikan???!!
Saya yakin, bahwa sejak dulu, maraknya structural crime dan undang-undang ‘pesanan asing’ itu bukannya tidak diketahui oleh para praktisi maupun dosen-dosen di fakultas hukum. Pertanyannya, kenapa para pendidik di fakultas hukum tak pernah memberitahukan hal itu? Jika kita kaitkan dengan pandangan Edward W. Said, ada sesuatu yang bernama ‘intertektualitas’, bahwa secara tidak langsung, muncul perasaan ‘tak sadar’ dari para akademisi dan intelektual yang disebut oleh Said sebagai orang-orang produktif, untuk membiarkan politik, institusi, dan ideologi yang berpengaruh terhadap dirinya dan karya-karya yang mereka hasilkan (Edward Said: 2009). Semua itu dilakukan demi memuluskan ideologi barat yang kapitalis-individualis untuk merasuk dan memaksa timur agar mengikuti arogansi barat.
Di benak banyak mahasiswa, karir adalah ukuran sukses. Menjadi hakim, jaksa, maupun pengacara, menjadi semata-mata urusan perut. Pada hari ini, banyak sekali yang menekuni profesi itu, tapi kondisi bangsa tak kunjung berubah, yang miskin tambah miskin, yang kaya tambah kaya, dan yang lemah semakin lemah. Semua itu tak lepas dari adanya semacam dehumanisasi yang dialami oleh aktor hukum, mulai dari dosen hukum, hakim, jaksa, maupun pengacara. Oleh karena itu, sebelum seseorang berkeinginan menjadi professional, mereka sebaiknya berfikir, layakkah kita bersenang-senang diatas penderitaan orang lain??! Saya tentu tidak mencegah anda untuk menjadi seorang professional, tetapi tetaplah memperjuangkan nasib kaum lemah, miskin, maupun tertindas hendaknya menjadi prioritas. Bukankah, hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, tetapi ada untuk manusia. Kalau tidak, Produksi pendidikan hukum kita hanya menelurkan 'homo formalis'.
Semoga bermanfaat!
Oleh: In'amul Mushoffa,
Malang 3 Oktober 2011.
Malang 3 Oktober 2011.
*) Dehumanisasi dapat ditafsirkan sebagai akibat kemerosotan tata-nilai. Mereka yang menjadi korban dehumanisasi kehilangan kepekaan kepada nilai-nilai luhur, seperti kebenaran, kebaikan, keindahan(estetik) dan kesucian. Mereka hanya peka dan menghargai nilai-nilai dasar, seperti materi (pemilikan kekayaan), hedonisme (kenikmatan jasmani) dan gengsi (prestise). Lihat: http://kangendru.wordpress.com/2008/05/14/dehumanisasi-dan-perkembangannya/
**) Kejahatan struktural adalah akibat langsung dari politik kekuasaan. Kejahatan struktural tidak bisa diminta pertanggungjawabannya hanya dari individu, melainkan secara sosial.Di dalam kejahatan struktural, upaya untuk mencari ‘dalang’ sebenarnya tidaklah mudah. Struktur-struktur yang memungkinan terjadinya tindakan kekerasan itu tampak memberikan pembenaran bagi pelaku kejahatan.Lihat: http://rumahfilsafat.com/2007/07/05/menelusuri-seluk-beluk-kejahatan-struktural/