Siapa Saja Bisa Menjadi Apasaja (Anis Baswedan). Bangsa Indonesia memiliki
sejarah pelik sebagai negara jajahan Kolonialisme. Kurang lebih sekitar tiga
abad lamanya sebagian besar manusia di negeri ini terisolir pemikirannya akan
kebebasan. Politik kekuasaan kolonialisme yang menggunakan sistem pembodohan
terbukti sangat efektif. Bahkan hingga anak cucu keturunannya bangsa ini sampai
sekarang masih terasa keterpurukannya, hal ini dapat dibuktikan dengan betapa
banyaknya jiwa-jiwa bangsa ini yang merasa pesimis akan kemampuannya. Merasa tidak
mampu, takut mengambil resiko, hanya ingin melakukan hal-hal yang sudah jelas
keuntungan materilnya.
Bakat pemberian Allah jangan hanya kau sembunyikan, persembahkan
seluruhnya kepada Nusa, Bangsa dan Negara (Albertus Soegijapranata). Setiap
insan memiliki talenta yang tersembunyi dalam dirinya, terutama para pemuda.
Namun banyak anak muda yang kurang bisa mengoptimalkan bakatnya. Salah satu
faktornya adalah psikologi pesimis. Mungkin juga karena hal ini sudah menjadi
psikologi turunan. pemuda yang hidup dalam lingkungan keluarga hedonisme dan
serba Instan. Atau memang sifat psikologi ini sudah diturunkan sejak bangsa ini
diperbudak dan diperbodoh bangsa lain (masa penjajahan).
Semenjak memasuki abad ke 21 ini, mulai banyak kreatifitas-kreatifitas yang muncul dari anak
bangsa. Mental pesimis itu kini mulai terkikis. Jiwa-jiwa yang dulunya terpuruk kini mulai bangkit dan
menunjukkan taring kreafitasnya. Namun permasalahannya saat ini adalah tidak
tersedianya wadah yang menampung kreatifitas tersebut secara optimal. Contohnya
dalam sudut pandang UMKM, banyak UMKM yang dapat menghasilkan berbagai
kreatifitas produksi yang terabaikan oleh pemerintah. Pemerintah kurang
memfasilitasi dan mengapresiasi hal ini. Masih banyak potensi yang belum
teroptimalkan karena kurangnya dukungan, baik dukungan materiil, teknologi,
maupun tenaga profesional.
Tidak terapresiasinya kreatifitas-kreatifitas masyarakt tersebut
dipengaruhi oleh kebijakan politik. Kebijakan politik diambil oleh orang-orang
yang berkepentingan secara individu maupun kelompok. Egoisme kebijakan tersebut
dilatar belakangi oleh pendidikan karakter yang kurang tepat. Pendidikan
karakter yang luhur haruslah ditanamkan sejak dini. Namaun metode pembelajaran
di negeri ini dirasa sudah tidak relevan lagi. Perlu adanya perubahan yang
signifikan, metode pembelajaran yang dulunya begitu kognitif harus
bertransformasi ke metode pembelajaran yang aplikatif. Metode pembelajaran
kognitif yang hanya terfokus pada teks pelajaran sudah tidak relevan.
Metode Pembelajaran Kognitif
Beberapa tahun terakhir sistem pendidikan kita dibingungkan dengan
penentuan standart kompetensi yang akan diterapkan. Hal teknis semacam ini
sudah amat sering kita ubah, sehingga perihal kualitas acapkali terabaikan.
Seyogyanya kita harus lebih terfokus terhadap potensi-potensi anak didik
daripada meliberalisme pendidikan seperti ini. Karena potensi-potensi tersebut
memerlukan sebuah perangsang agar ia dapat keluar. Pengaruh lingkungan dan
pendidikan menjadi faktor utama tumbuh kembangnya talenta terpendam tersebut.
Di negeri Belanda sebuah Universitas seterkenal Erasmus begitu
mudah menerima mahasiswa. Mengapa demikian? Karena semua warag negara memiliki
hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Kemudian bagaimana bisa
menghasilakan kualitas lulusan yang baik jika dalam seleksi masuknya
asal-asalan? Hal itu sangat gampang, kita perketat seleksi di semester ke dua,
akan tampak mana mahasiswa yang benar benar memiliki potensi dan niat untuk
berkembang dengan yang hanya sekedar asal kuliah. Oleh sebab itu banyak
mahasiswa yang Drop Out pada semester ke dua, di sinilah kita baru
berbicara kualitas.
Metode pembelajaran di negri ini terlalu kognitif, para guru akan
merasa bangga dengan murid yang memiliki nilai bagus, yang tak tau bagaimana
mereka berusaha untuk menggapainya. Dan celakanya, para guru mengabaikan
siswa-siwa yang aktif namun tak menguasai semua objek materi dalam kelas.
Metode tersebut hanya mencetak lulusan bebek, yang tak tau bagaimana berkorelasi
dan memabur dengan lingkungan sekitar. Karena mereka hanya dinilai berdasarkan
angka yang tertera dalam sebuah kertas.
Belajar bukan hanya dari guru, melainkan dari segara resources.
Diperlukan guru yang bukan hanya seorang pengajar, namun juga seorang pendidik.
Guru tak bisa lagi hanya memberikan semua isi buku untuk dihafalakan, tetapi
guru dituntut untuk memberikan bagaimana hidup tanpa guru, life long
learning. Oleh sebab itu, sekolah sekarang harus memberikan lebih banyak
pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak pengetahuan kalau tidak bisa
dikunyah. Kualitas guru harus dirubah, fasilitas harus disesuaikan kebutuhan
dan tak berhenti untuk berinovasi dalam mendidik (Renald Kasali, Sekolah
Untuk Apa?, Koran Sindo, 7 juli 2011).
Belajar kepada Leonardo Wilhelm Dicaprio
Aktor Hollywood yang kini berumur 41 tahun ini, kini mnejadi
perbincangan diberbagai media masa, setelah kesuksesannya sebagai aktor terbaik
dalam Academy Awards dengan film yang dibintanginnya The Revenant,
2016. Dalam film-film yang dibintanginya, Leo dikenal sebagai aktor yang gemar
menjalani peran-peran yang tak biasa, dalam film The Revenant leo
berakting memakan jeroan bison dan berlindung di balik tumpukan bangkai kuda di
tengah dinginnya badai salju pegunungan. Leo tertarik memerankan Leo selalu
melalu melakukan perannya secar totalitas.
Apa yang sudah diraih oleh leo merupakan hasil kerja keras dan
komitmennya dalam dunia perfileman. Seyogyanya seperti itulah kita dalam
menjalani proses kehidupan ini. Tak perlu risau siapa kita, darimana asal kita,
bagaimana latar belakang keluarga kita. Karena itu semua tidak berpengaruh
terhadap apa yang bisa dicapai di masa depan. Karena hasil tak pernah
menghianati usaha.
Siapa saja bisa menjadi apa saja. Paradoks tersebut menjadi
penggugah semangat yang membuat degap jantung semakin menggebu untuk melakukan
perubahan, terutama dalam diri sendiri. Mari melupakan kepahitan masa lalu,
masa lalu negatif yang bisa membunuh optimistis. Mari lupakan apa latar
belakang kita, dari keluarga mana kita berasal. Apapun yang menjadi tembok
penghalang kemajuan kita mari hancurkan, bukaklah masa depan dengan tangan anda
sendiri, jika bukan anda yang melakukan perubahan, lalu siapa lagi?
Steve Jobs
Apa
saja yang tak membuatku mati terbunuh, akan membuatku lebih tangguh (Steve
Jobs). Banyak orang menjalani keterpurukan dan tidak mau belajar sehingga
mereka tidak berkembang. Mereka berhenti saat mendapatkan pelajarannya sehingga
kepahitan itu menjadi sia-sia. Kebanyakan orang enggan untuk keluar dari kursi
nyamannya. Lebih memilih menjadi passenger (penumpang). Hal-hal yang
dikerjakanya sudah tertera dalam kertas. Apa yang dilakukannya juga sudah ditentukan
oleh normatifisme struktural baik dalam dunia kerja, pendidikan, maupun jabatan
lainnya.
Pendiri Apple tersebut dikenal dengan kecerdasan dan kreatifitasnya
yang berani menembus kebiasaan-kebiasaan formalitisme. Steve Jobs benar-benar
memanfaatkan kecerdasan dan kecakapannya dalam berinofasi. Ia tidak mau diatur
oleh aturan-aturan normatif yang malah akan membelenggu kratifitasnya. Dengan
kegigihan yang kuat itulah kini namanya tak terhapuskan dari sejarah. Kunci
dari semua itu adalah “Seberapa kuat keinginan anda dan seberapa besar usaha
anda”.
Semua jenis kegagalan di masa lalu adalah pembelajaran. Waktu yang
telah lalu tak mungkin dapat anda nikmati lagi dan masa depan adalah misteri.
Hal paling realistis adalah memanfaatkan waktu saat ini dengan sebaik-baiknya.
Berusaha dengan seluruh tenaga, pantang berputus asa. Masa depan bukanlah akhir
tujuan, masa depan hanyalah identitas untuk menggambarkan waktu yang belum
terjadi. Apa yang akan anda capai di masa depan adalah seberapa besar usaha
anda. Yang perlu dilakukan hanyalah berusaha dan terus berusaha karena “siapa
saja bisa menjadi apa saja”.
Muhtar
Salam.
(Bidang Penelitian, Pembinaan dan Pengembangan Anggota
HMI Komisariat Syariah-Ekonomi UIN Malang periode 2015-2016)